PTUN Tolak Gugatan Unggul tinggi soal RUU Masyarakat Adat Mandek 20 Tahun

PTUN Tolak Gugatan Unggul tinggi soal RUU Masyarakat Adat Mandek 20 Tahun


Lembaga Proses Hukum Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Unggul tinggi) terhadap Pemimpin Negara dan Lembaga Legislatif buntut proses pengesahan RUU Masyarakat adat yang terus mandek.

Gugatan itu diputus oleh Hakim Ketua Dewi Cahyati dalam sidang pembacaan putusan secara elektronik (ecourt) yang diunggah di laman PTUN Jakarta pada Kamis (16/5).


PTUN Jakarta Bahkan menyatakan menerima eksepsi Pemimpin Negara sebagai tergugat I dan Lembaga Legislatif sebagai tergugat II.

“Menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima,” demikian dikutip dari amar putusan Perkara Hukum 542/G/TF/2023/PTUN.JKT dikutip Jumat (17/5).

PTUN Jakarta menyatakan para pihak yang tidak sependapat dengan putusan itu dapat mengajukan banding dalam tenggat waktu 14 hari setelah putusan dibacakan.

Dalam gugatannya, Unggul tinggi dan 8 masyarakat adat lainnya menganggap Pemimpin Negara dan Lembaga Legislatif Sudah melakukan perbuatan melawan Aturan Aturan Hukum lantaran tak kunjung mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Sebab, hal itu menyebabkan tidak adanya kepastian Aturan Aturan Hukum untuk masyarakat adat. Penelantaran RUU itu Bahkan dinilai Menyediakan penderitaan terhadap masyarakat adat.

“Sikap abai dan tindakan penundaan berlarut yang dilakukan Tergugat I dan Tergugat II Sudah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Aturan Aturan Hukum Adat terkatung-katung (tidak jelas), sehingga berdampak pada ketidakpastian Aturan Aturan Hukum,” demikian dikutip dari gugatan Unggul tinggi dan 8 masyarakat adat.

Unggul tinggi menyebut hal itu Bahkan menyebabkan tidak adanya perlindungan Aturan Aturan Hukum yang mengakibatkan banyaknya perampasan tanah dan hak hidup masyarakat adat.

Unggul tinggi mencatat sepanjang 2017-2022 terdapat 301 Tindak Kejahatan perampasan wilayah masyarakat adat. Lahan yang Sudah dirampas seluas 8,5 juta hektare. Hal ini Bahkan menyebabkan 672 Masyarakat Adat dikriminalisasi.

Unggul tinggi menyebut perampasan wilayah adat dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat itu terjadi diberbagai sektor. Sebanyak 1.919.708 hektare wilayah adat dirampas untuk konsesi pertambangan.

Kemudian, 1.208.752 hektare untuk konsesi perkebunan sawit, 834.822 hektare untuk konsesi tanaman industri (HTI), dan 1.612.065 hektar untuk konsesi hak pengusahaan hutan (HPH).

Unggul tinggi Berencana ajukan banding

Sekretaris Jenderal Unggul tinggi Rukka Simbolinggi kecewa atas putusan PTUN Jakarta tersebut. Menurutnya, PTUN Jakarta Sudah turut mengabaikan pemenuhan hak masyarakat adat oleh Lembaga Legislatif dan Pemimpin Negara yang menunda pembahasan RUU Masyarakat Adat.

“Putusan ini Bahkan menunjukkan PTUN Jakarta gagal menjalankan mandat undang-undang administrasi pemerintah sebagai kontrol penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang baik,” kata Rukka saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Lebih lanjut, Rukka menilai dengan putusan ini, maka PTUN Jakarta gagal menjadi alat atau mekanisme masyarakat adat untuk mewujudkan keadilan.

“Dan hak masyarakat adat yang terancam oleh negara melalui perizinan, penetapan hutan negara, dan ekstraksi oleh korporasi,” tuturnya.

Rukka menyatakan pihaknya Berencana mengajukan banding ke Lembaga Proses Hukum Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) atas putusan PTUN Jakarta tersebut.

“Kami Berencana banding ke PTTUN,” ujar Ia.

RUU Masyarakat Adat merupakan rancangan undang-undang yang Sudah diusung sejak 2003. Naskah akademiknya dirumuskan pada 2010. Bertolak belakang dengan, lebih dari 20 tahun RUU itu belum Bahkan disahkan.

Sementara itu, Lembaga Legislatif Sekarang Bahkan tengah memproses RUU lain yang menuai kritik seperti RUU MK perubahan keempat dan RUU Kementerian Negara.

RUU MK selangkah lagi Berencana disahkan menjadi Undang-Undang. Padahal, RUU itu dikritik karena isinya dianggap Berencana melemahkan kewenangan MK.



Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *