Pemutusan Hubungan Kerja Makin Menggila, Bagaimana Trik Mengeremnya?

Pemutusan Hubungan Kerja Makin Menggila, Bagaimana Trik Mengeremnya?

Jakarta, CNN Indonesia

Pemerintah memiliki setumpuk pekerjaan rumah untuk menahan badai pemutusan hubungan kerja (Pemutusan Hubungan Kerja) yang menerjang di berbagai sektor.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah pekerja yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja melesat menjadi 44.195 per pertengahan Agustus 2024.

Jumlah itu melesat dibanding angka Pemutusan Hubungan Kerja yang terdata Kemnaker pada periode Januari-Juni 2024 yang baru sebanyak 32.064 orang.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengacu information Kemnaker jumlah Pemutusan Hubungan Kerja per 31 Juli 2024 sebanyak 42.863 orang. Pemutusan Hubungan Kerja banyak didominasi industri pengolahan seperti tekstil, garmen dan alas kaki dengan jumlah 22.356 orang.

“Per Juli 2024, dari whole 42.863 orang yang ter-Pemutusan Hubungan Kerja, jumlah Pemutusan Hubungan Kerja terbanyak terdapat di sektor industri pengolahan (termasuk tekstil, garmen, alas kaki) yaitu sebanyak 22.356 orang. Sedangkan non industri pengolahan sebanyak 20.507 orang,” seperti tertulis di information Kemnaker.

Adapun lima industri dengan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja terbanyak per 31 Juli 2024 Merupakan industri pengolahan sebanyak 22.356, aktivitas jasa lainnya 11.656, pertanian, kehutanan, dan perikanan 2.918, pertambangan dan penggalian 2.771, dan perdagangan besar dan eceran 1.902.

Provinsi Jateng menggeser Provinsi DKI sebagai wilayah dengan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja terbanyak Dengan kata lain sebanyak 13.722 orang. Mayoritas Pemutusan Hubungan Kerja di Jateng didominasi sektor industri pengolahan sebanyak 13.271 orang.

Pembantu Presiden Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pun buka suara terkait persoalan ini. Menurutnya, langkah Pemutusan Hubungan Kerja menjadi pilihan terakhir yang bisa dilakukan perusahaan di kala kondisinya tidak bisa dipertahankan.

Bila Pemutusan Hubungan Kerja Dianjurkan terjadi, maka perusahaan Dianjurkan memenuhi hak-hak pekerja sesuai aturan yang berlaku.

“Pemutusan Hubungan Kerja sebagai jalan terakhir. Niscaya kita harapkan Pemutusan Hubungan Kerja jalan terakhir. Bila pun tidak bisa menghindarkan dari Pemutusan Hubungan Kerja, maka jaminan kehilangan pekerjaan Dianjurkan diberikan. Hak-hak mereka Dianjurkan diberikan. Kemudian kesempatan kerja baru Dianjurkan dibuka yang seluas-luasnya,” ujar Ida di Gedung Lembaga Legislatif RI, Jakarta Pusat, Jumat (16/8), melansir CNBC Indonesia.

Ketika ditanya apa upaya pemerintah menekan Pattern Populer Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia, ia menjawab hal itu dilakukan dengan membangun kesepahaman antara pekerja dengan pengusaha.

“Pemerintah Setiap Saat memanggil para pihak Bila ada perusahaan yang Akan segera melakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Kita biasanya panggil untuk kita mediasi, untuk kita lakukan dialog yang difasilitasi, dijembatani oleh pemerintah,” jelasnya.

Lantas apa saja yang Dianjurkan dilakukan pemerintah demi mengatasi tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja ini?

Direktur Middle of Financial and Regulation Research (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan angka Pemutusan Hubungan Kerja bisa ditekan dengan lima strategi. Pertama, Mengoptimalkan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah dan rentan miskin dengan menunda kenaikan tarif Retribusi Negara pertambahan nilai (PPN) 12 persen.

Bhima menyebut penurunan tarif PPN menjadi 9 persen bisa dilakukan lewat revisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Perundang-Undangan HPP). Ia menilai kenaikan PPN menjadi 11 persen sejauh ini terbukti berkorelasi dengan rendahnya tingkat konsumsi rumah tangga dan penjualan ritel.

Kedua, Membantu beban pekerja dengan menerapkan Retribusi Negara penghasilan (PPh) Pasal 21 yang pajaknya ditanggung pemerintah (DTP) Sampai saat ini pendapatan bruto Rp200 juta per tahun.

Ketiga, kendalikan harga pangan baik minyak goreng dan beras dengan berbagai intervensi seperti menaikkan Bantuan Pemerintah pupuk yang tahun 2025 nilainya berkurang,” ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (21/8).

Keempat, mempertebal jaring pengaman sosial dalam bentuk bantuan sosial (Bantuan Pemerintah) yang tepat sasaran ke kelas menengah rentan. Ia menyoroti bagaimana dalam RAPBN 2025 pos bantuan sosial hanya dialokasikan Rp152,7 triliun, terendah sejak pandemi.

Kelima, memperbaiki insentif fiskal sehingga belanja perpajakan dapat mengefektifkan dan menciptakan serapan kerja di sektor padat karya.

“Selama ini insentif fiskal salah sasaran, karena Menyediakan keringanan Retribusi Negara ke industri smelter nikel yang padat modal,” tuturnya.

Bhima pun menjelaskan faktor terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja termasuk struktural, mulai dari salah kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja karena Penanaman Modal yang masuk kualitas serapannya justru rendah, upah terlalu kecil tidak mampu menaikkan daya beli masyarakat, Sampai saat ini jaring pengaman bagi pekerja banyak dipangkas.

Apalagi, sektor industri yang loyo. Ia menduga deindustrialisasi prematur berlangsung lebih Unggul di period Pemimpin Negara Joko Widodo (Jokowi) mengakibatkan sektor jasa yang tumbuh tidak disertai permintaan industri dalam negeri.

Kemudian, Fluktuasi Harga pangan dan suku bunga beberapa tahun terakhir ikut menurunkan permintaan industri pengolahan.

“Kebijakan Produk Impor yang tidak jelas, bahkan cenderung memperlonggar Produk Impor barang jadi blunder terhadap pabrikan tekstil, pakaian jadi domestik,” ucap Bhima.

Bersambung ke halaman berikutnya…





Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *