Tak Hanya Pribumi, Ternyata Orang Belanda Juga Doyan B.A.B di Sungai

source : tropen museum/fotolawas
Aturan negenuursbloemen masih mengizinkan warga BAB di sungai jika sudah pukul 21.00 ”
Sebelum orang-orang di Hindia Belanda memiliki kakus atau WC, mereka terbiasa buang hajat di sungai. Cara ini, dipandang sebagai hal yang higienis. Dan ternyata kebiasaan ini tak hanya dilakukan orang Indonesia. Pada zaman kolonial, orang-orang Belanda ternyata juga hobi BAB di sungai. Berikut ini fakta sejarah yang berhasil mainstream rangkum dari berbagi sumber.
Kebiasaan yang pada masa sekarang dianggap jorok itu pernah mengundang malapetaka. Wabah penyakit mengancam Batavia, yang memang dialiri oleh banyak anak sungai . VOC bahkan harus mengatur kegemaran berak warganya ini.
Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen (1619- 1629) ingin supaya Batavia dapat menyerupai kota Amsterdam di Belanda. Batavia menjelma menjadi kota dengan sungai terbanyak di Nusantara dengan 13 sungai besar dengan ratusan anak sungai. Ketika itu Kali-kali di Batavia masih sangat jernih. Sungai-sungai jernih itu keuntungan orang-orang Eropa untuk membangun hunian disekitar sungai. Bahkan konon, hanya dengan saringan sederhana, air sungai itu bisa langsung diminum.

Orang Belanda lalu mulai mengikuti gaya hidup kaum bumiputra yang memanfaatkan sungai untuk segala macam kebutuhan sehari-hari. Mulai mandi, mencuci, sampai buang hajat. Sederet aktivitas di sungai itu, termasuk buang hajat lalu diadopsi orang Belanda di tanah koloni. Perlahan tapi pasti, semua kebiasaan itu menyebabkan masalah. Wabah penyakit, malaria, disentri, dan muntaber mulai menyerang warga Batavia.
Pada 1630, VOC membuat peraturan melarang membuang kotoran manusia, sampah rumah tangga, dan berbagai jenis sampah lainnya ke dalam kali dan kanal. Tapi bukan berarti orang tidak bisa buang hajat. Karena belum mengenal dan memiliki kakus, warga masih dibolehkan BAB di sungai jika sudah pukul 21.00 atau disebut negenuursbloemen.

Jika sebelum pukul 21.00 ingin BAB, biasanya Kotoran manusia itu ditampung pada wadah mirip ember dan pada jamnya , kotoran tersebut dibuang ke kali oleh para budak. Akibatnya, pada siang hari, lebih-lebih pada musim kemarai, bau menyengat dari sungai, menyebar kemana-mana.
Sungai tetap tercemar penyakit dan memakan korban. Menurut catatan kota, pada 1733, rata-rata kematian karena wabah penyakit akibat kali tercemar mencapi dua hingga tiga ribu orang per tahun. Aturan BAB ternyata tidak berjalan dengan baik. Bahkan banyak orang sering memergoki pejabat sekelas Gubernur Jenderal VOC juga buang hajat di sungai.
Yang paling terkenal adalah Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), diyakini sering menikmati waktu buang hajat di kali. Rumahnya di jalan Jacatra (saat ini : Toko Merah) berbatasan langsung dengan sungai yang mengalir di situ. Ada sebuah bangunan kecil, semacam paseban yang memiliki tangga untuk turun ke sungai menuntaskan hajatnya. mmg